Herlambang Ega Prasetya 23212428 2EB02 / Jawa Tengah
HaKI DALAM INDUSTRI KREATIF DI INDONESIA
Hak Kekayaan Intelektual, disingkat “HKI” atau akronim
“HaKI”, adalah padanan kata yang biasa digunakan untukIntellectual Property Rights (IPR),
yakni hak yang timbul bagi hasil olah pikir yang menghasikan suatu produk atau
proses yang berguna untuk manusia pada intinya HKI adalah hak untuk menikmati
secara ekonomis hasil dari suatu kreativitas intelektual. Objek yang diatur
dalam HKI adalah karya-karya yang timbul atau lahir karena kemampuan
intelektual manusia.
Pemerintah Indonesia sedang mengampanyekan
industri kreatif sebagai salah satu dari empat pilar pembangunan nasional ke
depan, selain sektor pertanian, industri, dan jasa. Ini tidak terlepas dari
kecenderungan dunia bahwa kemajuan saat ini lebih banyak ditopang oleh
kemampuan untuk mendayagunakan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), konteks
yang sangat relevan dengan industri kreatif.
Tentu bukan tanpa alasan, jika pelaksanaan Pekan Produk Budaya Indonesia (PPBI) terakhir menjadi Pekan Produk Kreatif Industri (PPKI) - yang secara berkala, setidaknya dalam tiga tahun terakhir, sampai harus melibatkan dua belas instansi pemerintah, ditambah Kamar Dagang dan Industri (Kadin) dan Dewan Kerajinan Nasional (Dekranas) dalam penyelenggaraannya. Potensi industri kreatif sebagai sumber pendapatan devisa bagi negara, perlu mendapat perhatian serius, karena terbukti sampai 2008 telah memberikan kontribusi sebesar 6,3 persen bagi Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia.
Pemerintah Indonesia sedang mengampanyekan industri kreatif sebagai salah satu dari empat pilar pembangunan nasional ke depan, selain sektor pertanian, industri, dan jasa. Ini tidak terlepas dari kecenderungan dunia bahwa kemajuan saat ini lebih banyak ditopang oleh kemampuan untuk mendayagunakan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), konteks yang sangat relevan dengan industri kreatif. Industri kreatif merupakan bagian tak terpisahkan dari ekonomi kreatif yang difokuskan pada penciptaan barang dan jasa dengan mengandalkan keahlian, bakat dan kreativitas sebagai kekayaan intelektual.
Berdasarkan studi Pemetaan Industri Kreatif (Depdag, 2007) terdapat 14 kelompok industri kreatif nasional, antara lain periklanan; arsitektur; pasar barang seni; kerajinan; desain; fesyen; video, film dan fotografi; permainan interaktif; musik; seni pertunjukan; penerbitan dan percetakan; layanan komputer dan perangkat lunak; televisi dan radio; serta riset dan pengembangan. Upaya untuk menggalakkan kreativitas segenap anak bangsa, sebenarnya lebih pada upaya menggali kembali nilai-nilai kreativitas yang pada prinsipnya dimiliki oleh mayoritas manusia. Oleh karena itu, pengenalan bakat, optimalisasi keahlian dan kreativitas menjadi lebih penting dari sekadar bergantung pada sumber daya alam yang lambat laun pasti habis.
Persoalan HKI
Banyak hal yang mesti diperhatikan untuk mengoptimalkan industri kreatif sebagai sumber pendapatan negara. Dari sekian banyak hal, masalah Hak Kekayaan Intelektual (HKI) adalah salah satu yang mendesak. Apa saja masalah HKI yang perlu dibenahi demi optimalisasi industri kreatif di Indonesia? Pertama, produk hukumnya. Pemerintah melalui Tim Nasional Penanggulangan Pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual sebenarnya telah mengagendakan perubahan terhadap empat paket undang-undang di bidang HKI, antara lain UU Hak Cipta, UU Paten, UU Merek dan UU Desain Industri, tetapi prosesnya belum menunjukkan tanda-tanda akan dibahas oleh DPR. Meskipun keempat UU di atas sangat relevan, menurut hemat penulis yang paling banyak mengandung masalah adalah hak cipta (copyright). Di bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), khususnya perangkat lunak (software) komputer, pengaturan UU Hak Cipta sudah harus dilihat kembali, karena pengaturan saat ini belum cukup memadai untuk mengatasi pembajakan di satu sisi, dan meningkatkan kreativitas di sisi lain.
Bukti sementara dapat dilihat dari peringkat pembajakan software di Indonesia yang dilansir oleh Business Software Alliance (BSA). Walaupun ada kemajuan, tetapi belum dapat disebut signifikan, karena belum ada kecenderungan menurun, masih naik turun. Bila pada akhir 2005, Indonesia berada di peringkat ketiga dengan tingkat pembajakan 87 persen, maka 2006 turun ke posisi 8 dengan tingkat pembajakan 85 persen. Pada 2007, Indonesia sebenarnya sudah di peringkat 12, tetapi tingkat pembajakan masih tetap tinggi, yaitu 84 persen. Pada 2008 dengan peringkat yang sama, malah naik menjadi 85 persen.
Di pihak lain, pengaturan hak cipta yang lebih melindungi perangkat lunak berbasis proprietary, turut mempengaruhi tumbuhnya kreativitas. Imbauan untuk menggunakan perangkat lunak berbasis open source, belum berhasil menggerakkan derap langkah bersama untuk mengatasi tingginya pembajakan, meskipun Kementerian Negara Riset dan Teknologi serta beberapa instansi pemerintah lainnya telah mendeklarasikan dan secara aktif mendorong Program Indonesia Go Open Source (IGOS). Dalam beberapa tulisan terakhir, penulis memberikan masukan agar klausul fair use dalam Pasal 15 Huruf e UU Hak Cipta yang menetapkan dengan syarat bahwa sumbernya harus disebutkan atau dicantumkan, tidak dianggap sebagai pelanggaran suatu hak cipta: perbanyakan suatu ciptaan selain program komputer secara terbatas dengan cara atau alat apa pun atau proses yang serupa oleh perpustakaan umum, lembaga ilmu pengetahuan atau pendidikan, dan pusat dokumentasi yang nonkomersial semata-mata untuk keperluan aktivitasnya.
Pengecualian terhadap pengecualian ini, sebenarnya telah membatasi ruang bagi peningkatan kreativitas dalam pengembangan perangkat lunak, karena dengan adanya pengecualian lagi (terhadap program komputer), makaprivilege masyarakat untuk memperbanyak suatu ciptaan secara terbatas, menjadi hilang sama sekali, kendatipun itu dilakukan terbatas untuk kepentingan pengembangan iptek (lihat tulisan penulis Menyoal Fair Use Program Komputer, Sinar Harapan 12/12/07).
Pendaftaran yang Masih Birokratis
Kedua, membenahi struktur HKI yang berkaitan dengan industri kreatif. Dalam konteks ini yang paling penting untuk dikedepankan adalah pembenahan proses pendaftaran HKI yang masih birokratis. Sayangnya, sentra HKI di lembaga Litbang dan Perguruan Tinggi (PT) yang seyogianya dapat membantu, belum berfungsi sebagaimana diharapkan. Beberapa investor yang berada di daerah banyak mengeluhkan masalah ini. Di Jawa Tengah misalnya, pengembangan teknologi tepat guna, hasil dari riset dan pengembangan, salah satu kelompok industri kreatif, masih terkendala pemrosesan HKI. Padahal, menurut Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Jawa Tengah, Anung Sugihanto, banyak investor tertarik pada hasil karya atau temuan masyarakat, namun terkendala, karena karya itu belum memiliki HKI (Kompas.com, 24/6/09).
Ketiga, peningkatan kesadaran HKI pengelola industri kreatif. Terlepas dari prosedur pendaftaran HKI yang dirasakan masih panjang, kesadaran hukum masyarakat industri kreatif harus terus-menerus digugah tentang betapa pentingnya HKI dalam pengembangan industri kreatif di masa-masa mendatang. Klaim yang dilakukan negara lain atas produk industri kreatif yang mirip dengan milik perajin Indonesia, harus menjadi pelajaran berharga, agar tidak merugikan bisnis industri kreatif Indonesia.
Penyelenggaraan PPKI setiap tahun merupakan momentum penting untuk sosialisasi HKI. Hanya saja mengingat pelaksanaannya yang masih terpusat di Jakarta, sulit mengharapkan sosialisasi lebih luas, terutama kalangan industri kreatif di daerah. Meskipun dalam penyelenggaraannya, peserta dari daerah juga dilibatkan, tetapi masalah biaya dan lain-lainnya, membatasi peserta daerah untuk berkiprah dalam kegiatan ini. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan di tahun-tahun berikutnya, PPKI kiranya dapat digilir di daerah yang punya potensi tinggi dalam pengembangan industri kreatif. Lebih ideal lagi, apabila diinisiasi oleh pemerintah provinsi, tentu dengan dukungan dari pemerintah pusat. (Sinar Harapan, 15 Juli 2009/ humasristek)
Tentu bukan tanpa alasan, jika pelaksanaan Pekan Produk Budaya Indonesia (PPBI) terakhir menjadi Pekan Produk Kreatif Industri (PPKI) - yang secara berkala, setidaknya dalam tiga tahun terakhir, sampai harus melibatkan dua belas instansi pemerintah, ditambah Kamar Dagang dan Industri (Kadin) dan Dewan Kerajinan Nasional (Dekranas) dalam penyelenggaraannya. Potensi industri kreatif sebagai sumber pendapatan devisa bagi negara, perlu mendapat perhatian serius, karena terbukti sampai 2008 telah memberikan kontribusi sebesar 6,3 persen bagi Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia.
Pemerintah Indonesia sedang mengampanyekan industri kreatif sebagai salah satu dari empat pilar pembangunan nasional ke depan, selain sektor pertanian, industri, dan jasa. Ini tidak terlepas dari kecenderungan dunia bahwa kemajuan saat ini lebih banyak ditopang oleh kemampuan untuk mendayagunakan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), konteks yang sangat relevan dengan industri kreatif. Industri kreatif merupakan bagian tak terpisahkan dari ekonomi kreatif yang difokuskan pada penciptaan barang dan jasa dengan mengandalkan keahlian, bakat dan kreativitas sebagai kekayaan intelektual.
Berdasarkan studi Pemetaan Industri Kreatif (Depdag, 2007) terdapat 14 kelompok industri kreatif nasional, antara lain periklanan; arsitektur; pasar barang seni; kerajinan; desain; fesyen; video, film dan fotografi; permainan interaktif; musik; seni pertunjukan; penerbitan dan percetakan; layanan komputer dan perangkat lunak; televisi dan radio; serta riset dan pengembangan. Upaya untuk menggalakkan kreativitas segenap anak bangsa, sebenarnya lebih pada upaya menggali kembali nilai-nilai kreativitas yang pada prinsipnya dimiliki oleh mayoritas manusia. Oleh karena itu, pengenalan bakat, optimalisasi keahlian dan kreativitas menjadi lebih penting dari sekadar bergantung pada sumber daya alam yang lambat laun pasti habis.
Persoalan HKI
Banyak hal yang mesti diperhatikan untuk mengoptimalkan industri kreatif sebagai sumber pendapatan negara. Dari sekian banyak hal, masalah Hak Kekayaan Intelektual (HKI) adalah salah satu yang mendesak. Apa saja masalah HKI yang perlu dibenahi demi optimalisasi industri kreatif di Indonesia? Pertama, produk hukumnya. Pemerintah melalui Tim Nasional Penanggulangan Pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual sebenarnya telah mengagendakan perubahan terhadap empat paket undang-undang di bidang HKI, antara lain UU Hak Cipta, UU Paten, UU Merek dan UU Desain Industri, tetapi prosesnya belum menunjukkan tanda-tanda akan dibahas oleh DPR. Meskipun keempat UU di atas sangat relevan, menurut hemat penulis yang paling banyak mengandung masalah adalah hak cipta (copyright). Di bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), khususnya perangkat lunak (software) komputer, pengaturan UU Hak Cipta sudah harus dilihat kembali, karena pengaturan saat ini belum cukup memadai untuk mengatasi pembajakan di satu sisi, dan meningkatkan kreativitas di sisi lain.
Bukti sementara dapat dilihat dari peringkat pembajakan software di Indonesia yang dilansir oleh Business Software Alliance (BSA). Walaupun ada kemajuan, tetapi belum dapat disebut signifikan, karena belum ada kecenderungan menurun, masih naik turun. Bila pada akhir 2005, Indonesia berada di peringkat ketiga dengan tingkat pembajakan 87 persen, maka 2006 turun ke posisi 8 dengan tingkat pembajakan 85 persen. Pada 2007, Indonesia sebenarnya sudah di peringkat 12, tetapi tingkat pembajakan masih tetap tinggi, yaitu 84 persen. Pada 2008 dengan peringkat yang sama, malah naik menjadi 85 persen.
Di pihak lain, pengaturan hak cipta yang lebih melindungi perangkat lunak berbasis proprietary, turut mempengaruhi tumbuhnya kreativitas. Imbauan untuk menggunakan perangkat lunak berbasis open source, belum berhasil menggerakkan derap langkah bersama untuk mengatasi tingginya pembajakan, meskipun Kementerian Negara Riset dan Teknologi serta beberapa instansi pemerintah lainnya telah mendeklarasikan dan secara aktif mendorong Program Indonesia Go Open Source (IGOS). Dalam beberapa tulisan terakhir, penulis memberikan masukan agar klausul fair use dalam Pasal 15 Huruf e UU Hak Cipta yang menetapkan dengan syarat bahwa sumbernya harus disebutkan atau dicantumkan, tidak dianggap sebagai pelanggaran suatu hak cipta: perbanyakan suatu ciptaan selain program komputer secara terbatas dengan cara atau alat apa pun atau proses yang serupa oleh perpustakaan umum, lembaga ilmu pengetahuan atau pendidikan, dan pusat dokumentasi yang nonkomersial semata-mata untuk keperluan aktivitasnya.
Pengecualian terhadap pengecualian ini, sebenarnya telah membatasi ruang bagi peningkatan kreativitas dalam pengembangan perangkat lunak, karena dengan adanya pengecualian lagi (terhadap program komputer), makaprivilege masyarakat untuk memperbanyak suatu ciptaan secara terbatas, menjadi hilang sama sekali, kendatipun itu dilakukan terbatas untuk kepentingan pengembangan iptek (lihat tulisan penulis Menyoal Fair Use Program Komputer, Sinar Harapan 12/12/07).
Pendaftaran yang Masih Birokratis
Kedua, membenahi struktur HKI yang berkaitan dengan industri kreatif. Dalam konteks ini yang paling penting untuk dikedepankan adalah pembenahan proses pendaftaran HKI yang masih birokratis. Sayangnya, sentra HKI di lembaga Litbang dan Perguruan Tinggi (PT) yang seyogianya dapat membantu, belum berfungsi sebagaimana diharapkan. Beberapa investor yang berada di daerah banyak mengeluhkan masalah ini. Di Jawa Tengah misalnya, pengembangan teknologi tepat guna, hasil dari riset dan pengembangan, salah satu kelompok industri kreatif, masih terkendala pemrosesan HKI. Padahal, menurut Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Jawa Tengah, Anung Sugihanto, banyak investor tertarik pada hasil karya atau temuan masyarakat, namun terkendala, karena karya itu belum memiliki HKI (Kompas.com, 24/6/09).
Ketiga, peningkatan kesadaran HKI pengelola industri kreatif. Terlepas dari prosedur pendaftaran HKI yang dirasakan masih panjang, kesadaran hukum masyarakat industri kreatif harus terus-menerus digugah tentang betapa pentingnya HKI dalam pengembangan industri kreatif di masa-masa mendatang. Klaim yang dilakukan negara lain atas produk industri kreatif yang mirip dengan milik perajin Indonesia, harus menjadi pelajaran berharga, agar tidak merugikan bisnis industri kreatif Indonesia.
Penyelenggaraan PPKI setiap tahun merupakan momentum penting untuk sosialisasi HKI. Hanya saja mengingat pelaksanaannya yang masih terpusat di Jakarta, sulit mengharapkan sosialisasi lebih luas, terutama kalangan industri kreatif di daerah. Meskipun dalam penyelenggaraannya, peserta dari daerah juga dilibatkan, tetapi masalah biaya dan lain-lainnya, membatasi peserta daerah untuk berkiprah dalam kegiatan ini. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan di tahun-tahun berikutnya, PPKI kiranya dapat digilir di daerah yang punya potensi tinggi dalam pengembangan industri kreatif. Lebih ideal lagi, apabila diinisiasi oleh pemerintah provinsi, tentu dengan dukungan dari pemerintah pusat. (Sinar Harapan, 15 Juli 2009/ humasristek)
http://winnieadisty.blogspot.com/